Kiat kedelapan menggapai keberkahan: Menyambung tali silaturahim.
Di antara amal shaleh yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup kita ialah menyambung tali silaturrahim, yaitu menjalin hubungan baik dengan setiap orang yang terjalin antara kita dan mereka hubungan nasab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. (متفق عليه
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rezekinya atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Ulama pen-syarah hadits ini mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan dilapangkan rezekinya ialah rezekinya diberkahi. Yang demikian itu dikarenakan, silaturrahim adalah salah satu bentuk sedekah, dan sedekah menjadikan harta bertambah. Tidak heran bila dengan bersilaturahim harta kita akan berkembang dan menjadi bersih.
Dan yang dimaksud dengan ditunda ajalnya ialah umurnya diberkahi, diberi taufik untuk beramal shaleh, mengisi waktunya dengan berbagai amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan terjaga dari menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah Ta’ala (Syarah Muslim oleh Imam an-Nawawi, 8/350, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, 4/302 dan ‘Aunul Ma’bud, 4/102).
Sebagian dari kita -bila mendapatkan keberhasilan dalam usaha, sehingga memiliki rezeki yang berlebih- bukannya menyambung tali silaturrahim, akan tetapi malah memutusnya. Kita beranggapan, bahwa karib kerabat hanya akan menambah beban hidup, membengkakkan anggaran belanja, dan akhirnya menjadikan kekayaan kita berkurang. Banyak dari kita yang siap untuk menjalin hubungan dengan siapapun, terkecuali dengan kerabat sendiri. La haula walaa quwwata illa billah.
Tidak mengherankan, bila harta kekayaan yang ia miliki jauh dari keberkahan. Bahkan, sering kali harta kekayaan tersebut menjadi sumber petaka dan kesengsaraannya di dunia dan akhirat.
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A
Artikel www.PengusahaMuslim.com